Penelitian terbaru menunjukkan satu persen dari
populasi manusia memiliki ketahanan genetik alami dari penyakit
mematikan, seperti HIV, malaria dan hepatitis.
Temuan ini
terungkap setelah peneliti melakukan penelitian terhadap penyakit
antraks dan menemukan bahwa kerentanan setiap orang terhadap penyakit
akut yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis ini bervariasi.
Ketika
bakteri dihirup oleh manusia atau hewan, bakteri tersebut akan mulai
memproduksi toksin antraks dan membunuh sel inang. Jika tidak diobati,
infeksi antraks dapat menyebabkan kerusakan jaringan secara luas,
pendarahan hingga kematian.
Ada vaksin yang efektif untuk
mengobati antraks dan beberapa jenis penyakit yang merespon dengan baik
terhadap pengobatan antibiotik. Namun, peneliti menemukan adanya
kerentanan terhadap toksin antraks yang diwariskan secara genetik.
Dalam
penelitian oleh tim ilmuwan dari Stanford University School of Medicine
di Amerika, dilakukan pengamatan genetik terhadap 234 partisipan dari
berbagai negara. Peneliti menemukan sel-sel dari tiga partisipan hampir
tidak sensitif terhadap toksin, dibandingkan sel-sel dari ratusan
partisipan lainnya.
Dari hasil pengamatan, para peneliti
menemukan adanya variasi dalam tingkat ekspresi genetik pada beberapa
relawan yakni pada struktur protein di permukaan sel yang disebut CMG2 (capillary morphogenesis gene 2).
Penelitian yang dipublikasikan secara online dalam Prosiding National Academy of Sciences
menunjukkan protein tersebut memegang peran penting dalam infeksi
bakteri antraks. Perbedaan struktur pada protein ini membuat sebagian
orang menjadi tidak sakit meski sama-sama terinfeksi bakteri antraks.
Setelah
melakukan pengamatan lebih dalam, peneliti juga menemukan sel-sel yang
diisolasi dari orangtua dan anak-anak ternyata serupa dan menunjukkan
bahwa sensitivitas terhadap toksin merupakan sifat yang diturunkan.
"Temuan
ini memberikan petunjuk untuk memprediksi siapa saja yang lebih
cenderung mengalami sakit parah setelah terinfeksi. Akhirnya, hasil
penelitian ini dapat mengarahkan pada pengembangan stategi pengobatan
baru," papar David, Relman selaku profesor microbiology and immunology
dari Stanford University, dilansir melalui Dailymail, Selasa (7/2).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar