Rabu, 08 Februari 2012

Faktor Genetik Bantu Orang Kebal HIV

Penelitian terbaru menunjukkan satu persen dari populasi manusia memiliki ketahanan genetik alami dari penyakit mematikan, seperti HIV, malaria dan hepatitis.

Temuan ini terungkap setelah peneliti melakukan penelitian terhadap penyakit antraks dan menemukan bahwa kerentanan setiap orang terhadap penyakit akut yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis ini bervariasi.

Ketika bakteri dihirup oleh manusia atau hewan, bakteri tersebut akan mulai memproduksi toksin antraks dan membunuh sel inang. Jika tidak diobati, infeksi antraks dapat menyebabkan kerusakan jaringan secara luas, pendarahan hingga kematian.

Ada vaksin yang efektif untuk mengobati antraks dan beberapa jenis penyakit yang merespon dengan baik terhadap pengobatan antibiotik. Namun, peneliti menemukan adanya kerentanan terhadap toksin antraks yang diwariskan secara genetik.

Dalam penelitian oleh tim ilmuwan dari Stanford University School of Medicine di Amerika, dilakukan pengamatan genetik terhadap 234 partisipan dari berbagai negara. Peneliti menemukan sel-sel dari tiga partisipan hampir tidak sensitif terhadap toksin, dibandingkan sel-sel dari ratusan partisipan lainnya.

Dari hasil pengamatan, para peneliti menemukan adanya variasi dalam tingkat ekspresi genetik pada beberapa relawan yakni pada struktur protein di permukaan sel yang disebut CMG2 (capillary morphogenesis gene 2).

Penelitian yang dipublikasikan secara online dalam Prosiding National Academy of Sciences menunjukkan protein tersebut memegang peran penting dalam infeksi bakteri antraks. Perbedaan struktur pada protein ini membuat sebagian orang menjadi tidak sakit meski sama-sama terinfeksi bakteri antraks.

Setelah melakukan pengamatan lebih dalam, peneliti juga menemukan sel-sel yang diisolasi dari orangtua dan anak-anak ternyata serupa dan menunjukkan bahwa sensitivitas terhadap toksin merupakan sifat yang diturunkan.

"Temuan ini memberikan petunjuk untuk memprediksi siapa saja yang lebih cenderung mengalami sakit parah setelah terinfeksi. Akhirnya, hasil penelitian ini dapat mengarahkan pada pengembangan stategi pengobatan baru," papar David, Relman selaku profesor microbiology and immunology dari Stanford University, dilansir melalui Dailymail, Selasa (7/2).


| Free Bussines? |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar